435 research outputs found

    Health Economics As A Science

    Get PDF
    Ekonomi - Kesehata

    Alasan-alasan dalam penundaan imunisasi

    Get PDF
    keywords: imunisasi, antigen bakteria

    Mengelola Bencana di Sektor Kesehatan: Membutuhkan Pendekatan Ilmiah

    Full text link

    Apakah Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Dapat Terus Dilaksanakan? sebuah Analisis Sejarah dan Budaya

    Full text link
    Di penghujung tahun 2009 ini, usia Undang Undang (UU) Jaminan Kesehatan Masyarakat(Jamkesmas) telah lima tahun (UU No. 40/2004).Selama lima tahun, praktis UU Sistem Jaminan SosialNasional (SJSN) tidak berjalan. Salah satupenyebabnya adalah bahwa UU SJSN inimembutuhkan UU lain yaitu UU Badan PengelolaJaminan Sosial (BPJS) yang tidak kunjung selesai.Pernyataan menarik adalah bahwa UU SJSN ini terlihattidak efektif untuk merubah masyarakat dan tentunyapertanyaannya mengapa gagal? Salah satupenjelasan adalah bahwa UU SJSN tidakmemperhatikan sejarah masyarakat yang akan diaturoleh UU. Sebuah UU dapat gagal karena tidak berhasilmerubah tata kehidupan masyarakat. Artinya tatakehidupan yang sudah berlangsung lama sejarahnyatidak bisa diubah. Masyarakat secara sengaja atautidak sengaja menolak pelaksanaan UU.Diskusi mengenai kebijakan dan historymerupakan hal menarik untuk diperdebatkan. Sebuahkebijakan (misal UU) dapat bersifat ahistorik jika tidakmempertimbangkan atau melihat sejarah. Namunperlu dicatat bahwa kebijakan memang dapatbertujuan membalikkan sejarah atau merubah sebuahtradisi. Lee Kuan Yew dengan kebijakan kerasberpuluh tahun mampu merubah perilaku kebersihanpenduduk Singapura. Jadilah sekarang situasiSingapura yang lebih bersih dibanding London(sebagai benchmark Lee Kuan Yew). Situasi iniberbeda dengan kebiasaan hidup tidak bersih dalamsejarah masyarakat perantauan Chinese. KebijakanSingapura bersih tersebut berhasil membalikkanpeninggalan sejarah. Kebijakan Singapura memangsangat keras karena melihat budaya kebersihandalam sejarah Singapura yang tidak baik. Jadi kalausebuah kebijakan tidak memperhatikan sejarah/tradisibudaya, maka kebijakan ini mempunyai risiko tidakberjalan. Hanya di atas kertas.Undang-Undang (UU) SJSN merupakan halsangat berat karena harus mampu merubah berbagaihal termasuk Perubahan budaya masyarakat, dokter,tenaga kesehatan lainnya, pimpinan dan stafperusahaan asuransi kesehatan, pejabat dinaskesehatan, sampai ke pejabat. Undang-Undang (UU)SJSN bukan hanya merubah prosedur, tapi budayayang sudah menjadi tradisi, menjadi bagian darisejarah panjang sektor kesehatan Indonesia. Tradisidokter mendapat fee for service tidak hanya 10tahunan. Sudah lama sekali.Sejarah sangat penting untuk menjadipertimbangan kebijakan. Pada tahun 1948,pemerintah Inggris dari Partai Buruh secara kerasmenasionalisasi semua pelayanan kesehatan agarterjadi pemerataan. Hal ini tidak terjadi di AmerikaSerikat. Dengan menasionalisasi RS swasta,pemerintah Inggris dapat melakukan intervensidengan kuat. Patut dicatat bahwa sekitar tahun 1948medico industrial compleks belum sekuat sekarang.Dalam konteks Perubahan di Inggris, kebijakanmenasionalisasi menjadi NHS dilakukan oleh PMPartai Buruh saat itu, dalam suasana rekonstruksiInggris pasca Perang Dunia II. Kebijakan inimenasionalisasi pelayanan kesehatan swasta,kemanusiaan (termasuk keagamaan), pemerintahlokal diinisiasi oleh kantor PM Inggris yang cenderunglebih ke kiri (sosialis) yaitu Partai Buruh.Kebijakan ini sangat memperhatikan tradisidalam sejarah, termasuk tradisi pendapatan tinggidokter yang sangat kuat. Para pengambil kebijakanpaham bahwa para dokter pasti menentang. Olehkarena itu, Aneurin Bevan (Menteri Kesehatan Inggrissaat itu) menyatakan: I stuffed their mouths withgold. Agar tidak ditentang dokter, kebijakan inisangat memperhatikan pendapatan para doktersehingga mau berubah.Dari gambaran ini, kita dapat melihat betaparapuhnya UU SJSN. Terbukti selama lima tahun tidakberjalan. Kerapuhan timbul dari berbagai sudut.Pertama dari saat disahkannya. Undang-Undang(UU) SJSN disahkan oleh Ibu Megawati di hari-hariakhir periode kepresidenan. Undang-Undang (UU)semacam ini sering disebut sebagai Midnight Laws.Dapat dipahami bahwa periode kepresidenenberikutnya tidak merasa memiliki (ownership) UUSJSN. Sangat berbeda dengan NHS di Inggris yangdisiapkan bertahun-tahun sebelumnya sebagaiagenda Partai Buruh. Oleh karena itu, UU SJSN perludiamandemen dengan salah satu tujuan adalahmeningkatkan kepemilikan dan dukungan politis daripemerintah yang berkuasa.Kerapuhan kedua, UU SJSN tidak bicarabanyak mengenai tradisi di sektor kesehatan,termasuk peran para dokter yang sangat powerfull.Masalah apakah para dokter akan kekuranganincome apabila menjalankan UU SJSN tidak dibahas.Kenyataan memang sudah terjadi. Model UU SJSNmemberikan insentif rendah dibanding OOP. Undang-Undang (UU) SJSN tidak bicara banyak mengenaibagaimana meratakan pelayanan kesehatan keberbagai tempat, UU SJSN tidak bicara banyakmengenai tradisi masyarakat Indonesia yang tidakkenal risiko dan lain-lain. Banyak sekali haloperasional tidak dibahas.Kerapuhan ketiga, UU SJSN mencakupkesehatan dan berbagai aspek welfare dalamhubungan pengusaha dengan buruh. Aspek ini sangatpolitis. Berbagai kepentingan dan ideologi yangsaling bertentangan dapat terjadi. Hal ini dapat dilihatdari kecurigaan para industrialis terhadap UU SJSNini yang dianggap mengurangi daya kompetisi produkIndonesia. Undang-Undang (UU) SJSN menjadisangat rapuh pada perdebatan ideologis. Akibatnyamasalah teknis yang banyak terdapat disektorkesehatan menjadi terabaikan. Komponenkesehatan bisa menjadi tidak terurus secara baikdalam UU SJSN.Oleh karena itu, diusulkan agar UU SJSNdiamandemen dan kalau bisa dipisahkan sendiri.Dari titik ini kemudian disusun UU AsuransiKesehatan dan atau UU Jaminan KesehatanNasional. Mengingat beratnya masalah yang sampaimencakup tata kehidupan dan sejarah yang sudahpanjang, diharapkan jangan diletakkan bersamasamadengan jaminan sosial lainnya (LaksonoTrisnantoro, [email protected])

    Bagaimana Peran Perguruan Tinggi Dalam Pengembangan Universal Coverage?

    Full text link
    Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan (JMPK) bulan Juni 2010 ini merupakan edisi khusus yang membahas mengenai kebijakan untuk Universal Coverage. Mengapa dilakukan edisi khusus? Diharapkan edisi ini dapat merangsang para peneliti untuk menuliskan penelitian mengenai Universal Coverage, sekaligus mencoba menghadirkan JMPK ke para pengambil keputusan. Diharapkan JMPK menjadi salahsatu jembatan untuk menghubungkan antara dunia akademik dengan pengambilan keputusan yang selama ini kurang efektif. Pengalaman subyektif Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan-Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (PMPK-FK UGM) sebagai lembaga peneliti dan kebijakan menyiratkan penelitian memang belum dipergunakan secara penuh dalam sejarah program jaminan kesehatan di Indonesia. Dalam pengalaman tersebut dapat dilihat bahwa perguruan tinggi berada dalam posisi yang tidak mantap. Dalam hubungan segitiga tersebut, ada pengalaman empirik bahwa pendapat dari perguruan tinggi diabaikan dan hubungan kerja yang berbasis pada kontrak jangka pendek tidak dilanjutkan. Dalam pengalaman program JPKM di Klaten (awal dekade 90-an) pada saat fase identifikasi masalah dan isu untuk kebijakan terjadi perbedaan pendapat antara perguruan tinggi dan penyandang dana mengenai berbagai hal prinsipil. Dalam perbedaan pendapat ini maka dalam proses kebijakan selanjutnya (Perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan) terlihat bahwa pihak perguruan tinggi dan lembaga penelitian kurang mendapat peran. Akibatnya tidak ada ruang untuk melakukan evaluasi independen terhadap efektivitas kebijakan model JPKM. Sebagai bangsa, Indonesia membuang kesempatan dalam masa pembelajaran besar antara tahun 1990-an ke tahun 2004. Pengalaman lain, pada awal tahun 2005 ketika kebijakan askeskin dilakukan, usulan untuk mengembangkan suatu sistem jaminan kesehatan yang detil ditulis berdasarkan good governance yang perlu dicoba secara empirik dengan melibatkan berbagai stakeholder. Usulan PMPK- FK UGM ditulis dalam bentuk dokumen saran untuk penyusunan kebijakan kesehatan yang didanai GTZ. Intinya usulan ini menyatakan bahwa kebijakan pembiayaan kesehatan bukan hanya menyangkut kebijakan, namun menyangkut berbagai hal lain yang kompleks, antara lain: rujukan kesehatan, ideologi, budaya para dokter, sampai ke masalah kompensasi. Namun usulan ini ternyata tidak diperhatikan. Akibatnya dana kegiatan askeskin melalui PT Askes Indonesia berjalan tanpa ada persiapan mengenai sistem pembiayaan dan pelayanan kesehatan, dan tidak disertai dengan evaluasi kebijakan secara ilmiah. Perubahan di tahun 2008 ke Jamkesmas, adalah kebijakan yang berada di luar jangkauan manfaat ilmu pengetahuan karena kebijakan ditetapkan secara situasional. Kebijakan ini merupakan hasil negosiasi pragmatis terhadap situasi yang mendesak. Secara keseluruhan, dalam masa 20 tahun terakhir ini, terlihat bahwa Perguruan Tinggi atau Lembaga Penelitian tidak ada yang menjadi mitra atau think-tank khusus untuk asuransi kesehatan. Hal ini berbeda dengan Reformasi Kesehatan oleh Presiden Obama yang didasari oleh sekelompok peneliti dari Harvard University, atau skema di Thailand yang merupakan sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Kegiatan yang terjadi lebih banyak pada hubungan antara pengambil kebijakan dan individuindividu di perguruan tinggi saja. Dalam konteks kekuatan tawar, tentunya hubungan ini menjadi lebih lemah dibanding dengan kalau ada hubungan organisasi antara pengambil kebijakan dan lembaga. Keahlian perorangan sebagai konsultan atau narasumber sangat rentan untuk tidak diteruskan. Dengan demikian secara jelas terlihat bahwa peran perguruan tinggi masih lemah. Apakah hal ini terkait dengan ketidakstabilan proses kebijakan, mulai dari perencanaan, penyusunan, sampai implementasi dan monitoring kebijakan jaminan kesehatan. Sebagai catatan: pembiayaan kesehatan adalah sebuah sistem yang riil yang dapat diukur keberhasilannya. Saat ini terlihat bahwa keberhasilan sistem jaminan kesehatan belum baik. Bagaimana dengan jaminan kesehatan yang ada di daerah. Dimana peran perguruan tinggi di daerah? Logikanya peran perguruan tinggi di kebijakan jaminan kesehatan di daerah akan lebih mudah karena skalanya yang lebih kecil dan akses ke pengambil kebijakan lebih muda. Akan tetapi data menunjukkan bahwa beberapa pemerintah daerah tidak menggunakan para dosen atau peneliti di daerah masing-masing. Sebagai penutup: dalam konteks sejarah di Indonesia, secara keseluruhan, peran Perguruan Tinggi belum berada dalam posisi yang baik. Dapat dikatakan bahwa perguruan tinggi atau lembaga penelitian belum pernah secara utuh berada dalam posisi sebagai pemberi masukan kebijakan dalam tahap penyusunan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, sampai monitoring dan evaluasi kebijakan, terutama di level nasional. Dipandang dari Evidence Based Policy situasi saat ini untuk sistem jaminan kesehatan adalah situasi dimana kurang ada bukti ilmiah kuat yang dipergunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. (Laksono Trisnantoro, [email protected])

    Rancangan Undang-undang Pendidikan Kedokteran: Perlukah?

    Full text link
    Saat ini terdapat keluhan mengenai mutupendidikan dokter Indonesia, masalahpenyebarannya, serta biaya pendidikan. Keluhan initidak terbatas pada pendidikan dokter umum, namunjuga pendidikan spesialis (residen di rumahsakit).Dalam konteks ini memang dirasakan ada sesuatuyang salah dalam pendidikan kedokteran Indonesia.Oleh karena itu Komisi X DPR melakukan inisiatifdengan mengajukan Rancangan Undang-Undang(RUU) Pendidikan Kedokteran. Saat ini RUU tersebuttelah masuk ke pembahasan materi olehpemerintah. Diharapkan akhir bulan Juni 2011pemerintah telah selesai menyusun tanggapannyauntuk kembali dibahas oleh DPR. Pertanyaanpenting yang sering timbul adalah apakah memangperlu RUU tersebut. Apa masalah kebijakannya?Dalam tulisan ini ada dua kebijakan yang disorotiyaotu kebijakan pemerintah di pendidiakn dokterumum dan kebijakan di pendidikan spesialis.Berbagai kebijakan yang terkait denganpendidikan dokter umum berada dalam berbagaikonteks menarik. Pertama ada berbagai kesulitandalam memasukkan lulusan SMA dari daerah sulitke Fakultas Kedokteran (FK) negeri, dalam suasanakebutuhan daerah akan dokter. Dalam situasi inieforia desentralisasi mendorong berbagai pemerintahdaerah mendirikan FK dengan modal keuangan dansumber daya manusia (SDM) yang terbatas.Akibatnya mutu pendidikan kedokteran di berbagaifakultas dipertanyakan. Kedua, kurikulum pendidikandokter di Indonesia terlihat berusaha mengejarkemajuan teknologi sementara itu kesesuaiandengan kebutuhan lokal terlihat kurang diperhatikan.Ketiga. dalam suasana permintaan tinggi lulusanSMA untuk menjadi peserta Pendidikan kedokteran, berdampak pada situasi dimana fakultaskedokteran menghasilkan pendapatan besar untukperguruan tinggi. Terjadi peningkatan tarif ataupunsumbangan dari mahasiswa termasuk mahasiswaasing. Terjadi fenomena buruk yang tidak dapatdielakkan, fakultas kedokteran di berbagai universitasnegeri dan swasta menjadi penyumbang untukpendidikan di fakultas lain.Di sisi pendidikan profesi selama bertahun-tahunterjadi ketidak jelasan domain rs pendidikan apakahberada di Kementerian Kesehatan atau pendidikandengan konsekuensi sumber anggarannya.Kementerian Kesehatan merupakan pemiliksebagian besar rumahsakit pendidikan yang tidakmempunyai anggaran khusus untuk pendidikandokter umum. Akan tetapi kerjasama antara duakementerian ini belum jelas.Kebijakan pemerintah di Dokter Spesialismerupakan faktor kedua penting untuk menyusunRUU ini. Jumlah lulusan dokter spesialis setiap tahunsangat tidak signifikan jika dibandingkan dengankebutuhannya. Hal ini disebabkan karena pendidikankedokteran spesialis hanya ada di perguruan tingginegeri dan tidak ada dukungan pemerintah dalamanggaran. Data menunjukkan fakta bahwapertumbuhan tenaga dokter spesialis sangat lambatdibandingkan dengan kenaikan jumlah penduduk.Oleh karena itu, perlu dirancang sistem pendidikanspesialis dengan harapan, jumlah dan mutu spesialissegera dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.Di pendidikan spesialis dibutuhkan campurtangan pemerintah, termasuk pendanaanya. Dengandemikian biaya yang ditanggung oleh masyarakatdapat berkurang. Salahsatu inovasi dalam pendidikanspesialis adalah memberi kesempatan ke sistempendidikan yang berdasarkan rumah sakit (hospitalbased) pemerintah dan swasta dalam lingkup sistemperguruan tinggi, dengan ujian nasional untukstandarisasi kompetensi mereka. Oleh karena itukebijakan terhadap peserta pendidikan dokterspesialis perlu diubah. Peserta pendidikan (residen)adalah bukan hanya peserta didik, namun jugamerupakan pemberi pelayanan di rumahsakit yangmempunyai hak dan kewajiban, termasuk menerimapendapatan dari kegiatannya di rumahsakit.Kebijakan-kebijakan pemerintah di pendidikankedokteran ini perlu dilakukan dengan alat kebijakanpublik yang kuat, dalam bentuk Undang-Undang,tidak cukup dengan Peraturan Pemerintah. Olehkarena itu dibutuhkan RUU pendidikan kedokteran.Ketika membahas RUU Pendidikan Kedokteranmaka perlu analisis dengan menggunakanpendekatan reformasi dalam pendidikan kedokteran.Dalam konteks sejarah, reform bisa berulang-ulangsesuai kebutuhan jamannya. Reformasi pendidikankedokteran yang dituliskan oleh Frenk dkk (Lancet2010) berfokus pada reform medical education diabad 20 kemarin. Menurut Frenk ada tiga reformpendidikan kedokteran di abad ke 2-0: (1) The firstgeneration, launched at the beginning of the 20thcentury, instilled a science-based curriculum; (2)Around mid-century, the second generation introducedproblem-based instructional innovations; dan(3) A third generation is now needed that should besystems based.Dengan pendekatan pemikiran reformasipendidikan kedokteran terlihat bahwa RUUPendidikan kedokteran merupakan sebuah reformasidi pendidikan kedokteran. RUU ini merupakankebijakan reformis dalam pendidikan kedokteran,yang merupakan reformasi generasi ke tiga. LaksonoTrisnantoro ([email protected]

    Pengembangan Kapasitas Kepala Dinas Kesehatan: Apakah Perlu Diperkuat dengan Aturan di Level Peraturan Pemerintah?

    Full text link
    Saat ini ada keluhan mengenai siapa yang layakmenjadi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten. Beberapakabupaten mengalami hal menarik bahwaKepala Dinas Kesehatan mempunyai pendidikansarjana dan pascasarjana yang bukan dari pendidikankesehatan. Sementara itu Peraturan MenteriKesehatan sudah jelas bahwa pendidikan KepalaDinas Kesehatan harus di bidang kesehatan masyarakat.Pertanyaannya apakah pendidikan KepalaDinas kesehatan yang bukan berasal dari bidangkesehatan akan merugikan status kesehatanmasyarakat?Salah satu argumen menarik di daerah mengenaihal ini adalah agar Dinas Kesehatan jangansampai menjadi kerajaannya para dokter dan tenagakesehatan. Oleh karena itu, Dinas Kesehatan perludibuka untuk dapat dipimpin oleh tenaga yangmempunyai pendidikan S1 dan S2 di luar kesehatan.Sebagai timbal-Baliknya adalah tenaga kesehatandapat menjadi Kepala Unit yang lain misal KepalaBappeda, Asisten Sekretaris Daerah, bahkan SekretarisDaerah. Badan Pemerintah Daerah (Bappeda)yang secara tradisional dijabat oleh para insinyursipil, arsitektur, saat ini semakin banyak dijabat olehprofesional dari kesehatan. Dengan terbukanya jalurini maka karir seorang Kepala Dinas Kesehatandapat berkembang ke tempat lain, tidak hanya disektor kesehatan. Apakah hal ini tepat?Sistem kesehatan di dunia saat ini berkembangsemakin kompleks. Terdapat dinamika dalam hubunganantara peran pemerintah, pendanaan,kebijakan desentralisasi kesehatan, pengaruhsistem pasar dalam pelayanan kesehatan, berkembangnyateknologi kedokteran, meningkatnyapenyakit-penyakit tidak menular dalam situasipenyakit menular yang masih tinggi, tuntutan masyarakatyang semakin besar, pengaruh internasional,sampai ke reformasi kesehatan.Perkembangan-perkembangan tersebut, tanpapengelolaan yang baik dapat mempunyai dampaknegatif terhadap status kesehatan masyarakat. Padaera desentralisasi Dinas Kesehatan merupakanlembaga strategis di daerah untuk menetapkan berbagaikebijakan kesehatan dan pelayanan kesehatanserta manajemen kesehatan untuk meningkatkanstatus kesehatan masyarakat. Kepala Dinas Kesehatanadalah pemimpin yang harus mengelolalembaganya yang dalam desentralisasi menjadi lebihterbuka dan sensitif terhadap Perubahan politik didaerah. Kepala Dinas Kesehatan diharapkan mampumemahami dinamika Perubahan di sektor kesehatandan berbagai kompetensi yang dibutuhkan danmemahami proses penyusunan kebijakan dan berbagaipilihan kebijakan termasuk adanya reformasikesehatan di dunia, Indonesia, dan daerahnyasendiri.Semakin rumitnya sektor kesehatan yang harusmendalami aspek teknis medik, sebaiknya KepalaDinas Kesehatan Kabupaten Provinsi adalah tenagakesehatan yang mempunyai pendidikan S1 dan S2dalam ilmu-ilmu kesehatan. Tanpa ada dasarpendidikan ini, dikhawatirkan kompetensi KepalaDinas Kesehatan sulit tercapai.Untuk meningkatkan kompetensi kepala DinasKesehatan, Menteri kesehatan mengeluarkanPermenkes No. 791/2009. Celakanya desentralisasijuga melahirkan Gubernur/Bupati/walikota yang tidakmengindahkan aturan dari Kementerian Teknisseperti Kementerian Kesehatan. Akibatnya terjadipengangkatan Kepala Dinas Kesehatan yang tidaksesuai dengan Permenkes. Di berbagai tempatKepala Dinas Kesehatan dijabat oleh sarjana bukandari ilmu-ilmu kesehatan.Bagaimana ke depannya? Situasi ini tidakmungkin diteruskan karena akan mengganggu pembangunansektor kesehatan. Pengangkatan KepalaDinas Kesehatan harus sesuai dengan kompetensi.Diharapkan pula pengangkatan juga jauh dari pertimbanganpolitik ataupun hutang budi Bupati atauWalikota terpilih kepada seseorang yang telahmembantu dalam pilihan kepada daerah.Dalam suasana desentralisasi yang seperti ini,Permenkes seolah tidak dipandang oleh pemerintahdi daerah maka diharapkan ada peningkatankekuatan aturan tentang kompetensi dari Permenkesmenjadi Peraturan Pemerintah. Peningkatan initentunya membutuhkan usaha yang besar. LaksonoTrisnantoro ([email protected]
    • …
    corecore